Salah satu peristiwa bersejarah dalam hidup saya adalah ketika untuk pertama kalinya saya mempunyai hak pilih, waktu itu usia saya genap 18 tahun. Tentunya senang sekali dan bangga karena dari segi usia, kedewasaan saya diakui dan bertambahlah hak saya selaku warga Negara. Jika dulu hanya melihat riuhnya orang-orang mengkampanye-kan partainya kemudian berbondong-bondong menggunakan hak pilihnya untuk turut serta dalam pesta terbesar di Negara ini yaitu pesta demokrasi.
Waktu itu saya berkata, inilah saatnya untuk berperan dalam pesta ini karena saya akan ikut menentukan siapa yang layak mengatur dan memimpin Negara ini. Dan saya yakin akan peran saya untuk menentukan nasib Negara ini di kemudian hari.
Saatnya pun tiba, telah bulat hati ini untuk memilih salah satu partai. Pagi-pagi sekali sudah mandi dan berdandan. Keceriaan menaungi keluarga saya yang semuanya sudah akan bersiap untuk berangkat ke tempat pemilihan suara.
Setelah sarapan bersama, ayah saya membuka percakapan yang lain dari biasanya, raut mukanya serius. Semua anggota keluarga kami ikut menyimak. Ayah bercerita tentang kilas balik perjalanan hidupnya, tentang masa remaja, pekerjaan, pernikahan, punya anak, menyekolahkan anak dan menghidupinya hingga dewasa. Sebagai penutup, kami anak-anaknya diminta untuk mensyukuri, merenungi dan mengambil hikmah dari cerita itu.
Kemudian ayah mengajak saya berbicara empat mata,
“Nak, kamu sudah punya pilihan dalam Pemilu ini… ?”
“ Sudah Yah, mudah-mudahan pilihan saya benar”
“ Ayah hargai apapun pilihanmu dan ayah selalu berdoa untuk kebaikanmu, jika kamu sudah memahami cerita di meja makan tadi tentunya kamu paham akan maksud ayah. Ayah tidak ingin apa yang telah dirintis selama ini hancur dalam sekejap.Kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di kemudian hari, seperti apa Negara ini jika diatur oleh pemimpin baru yang belum pasti. Seperti apa kebijakannya, semuanya belum teruji. Ayah hanya ingin hidup kita dan hidup semua saudara kita tenang damai seperti yang sudah-sudah. Silahkan jika kamu sudah punya pilihan, tapi jika berbeda dengan pilihan ayah, apakah kamu tega mengorbankan semuanya yang telah kita rintis bersama ?”
Ayah memeluk dengan hangat dan curahan kasih sayang yang tidak terkira sebelum meninggalkan saya yang penuh kebimbangan. Betapa besar pengorbanannya, betapa besar kasih sayangnya. Sebesar itu pula kebimbangan yang saya rasakan. Saya tidak tega menghianati orang yang mengasihi saya. Pilihan saya jelas beda dengan pilihan ayah. Walaupun sebetulnya saya sangat menginginkan perubahan di negri ini. Kebimbangan membawa saya pada keragu-raguan akan pilihan yang sebelumnya telah mantap. Sayapun mengikuti pilihan Ayah…..Pesta demokrasi yang saya idamkan, hak pilih yang saya banggakan harus direlakan untuknya.
Tapi mungkin saya termasuk orang yang beruntung, saya merubah keputusan dengan cara seperti itu. Banyak saudara-saudara kita yang merubah keputusan dengan cara yang tidak manusiawi. Dipaksa, diintimidasi, dikucilkan bahkan dengan kekerasan. Atau bahkan dengan dijanjikan sesuatu, diberi sesuatu dan sebagainya.
Teman-teman saya menukar pilihannya hanya dengan sebungkus nasi, sebungkus rokok, sejumlah (kecil) uang atau angin harapan.
Banyak yang meratapi nasib dikucilkan, dipindahkan tempat kerjanya, atau diturunkan jabatannya.
Bukan saja karena perbedaan dalam pilihan tapi secara umum perbedaan itu memang lebih cenderung berdampak negatif. Orang lebih menghargai persamaan daripada perbedaan.
Jika kita bangga dengan keanekaragaman suku, adat, budaya dan sebagainya, kenapa harus ada primordialisme yang mengusung persamaan.
Dalam suatu forum diskusi, seringkali peserta yang mempunyai pendapat berbeda dianggap nyeleneh. Jika pendapatnya ditolak, ia merasa sebagai orang yang kalah. Banyak sekali cara untuk mengubur perbedaan, misalnya dengan pengambilan suara terbanyak untuk menghitung kesamaan. Yang dominan tentu saja menjadi pemenang, namun apakah yang berbeda itu adalah sesuatu yang salah ?
Keputusan yang diambil belum tentu menjadi yang terbaik diantara pilihan-pilihan yang lain. Belum tentu pilihan lain lebih jelek dibanding dengan yang terpilih. Semuanya bergantung kepada nurani.
Dalam menyikapi perbedaan seringkali emosi yang dikedepankan dan mengesampingkan akal serta pikiran. Dan kita akan berbangga jika pilihan kita yang menang bukan yang terbaik yang menang, karena kita tidak sempat berfikir, betulkah pilihan kita adalah pilihan terbaik ?
Rabu, 19 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Cool story. Tapi mana resensi/preview bukuna? Atau ada di suatu tempat di blog, belum sempet kukurilingan yeuh.
BalasHapus